Rabu, 26 Mei 2010

Menyoal Keindahan Bonsai Cascade

Bonsai bergaya cascade (air terjun) apakah harus punya kepala? Dimanakah letak keindahan bonsai yang memiliki batang menggantung itu? Lantas, benarkah bonsai gaya tersebut bukan termasuk gaya konvensional?

Menyebut lima gaya dasar bonsai, maka gaya cascade adalah salah satunya. Keempat gaya lainnya adalah; Gaya formal, Informal, Slanting (miring) dan Semi Cascade. Sebuah bonsai disebut bergaya cascade manakala pertumbuhan batang utamanya mengarah ke bawah sehingga melewati bibir pot. Pertanyaannya, apakah gaya cascade termasuk gaya konvensional? Jika iya, bagaimana aturannya?

Silang pendapat soal bonsai gaya cascade ini mengemuka dalam acara pertemuan rutin PPBI Cabang Sidoarjo bulan Juli yang lalu (19/7). Acara formal di kebun Husny di kawasan Bintang Diponggo Surabaya itu sebetulnya adalah diklat bonsai yang disampaikan oleh Wawang Sawala. Namun diskusi berkembang seru ketika saat awal Wawang melontarkan pertanyaan soal bonsai cascade.

Selama ini, yang disebut gaya konvensional adalah bonsai yang memiliki pakem tertentu. Misalnya saja, yang mengatur perbandingan besar batang dengan besar cabang, tinggi cabang pertama, jarak dan arah antar cabang, dan sebagainya. Tetapi, ternyata aturan-aturan tersebut hanya dapat diterapkan pada bonsai gaya formal atau tegak. Aturan itu tidak dapat diterapkan untuk keempat gaya bonsai yang lain.

Dalam prakteknya, memang hampir mustahil menemukan bonsai yang betul-betul mengikuti aturan atau pakem yang konon diciptakan orang Jepang itu. Apa yang disebut “aturan” itu sebetulnya tidak lebih sebagai sebuah panduan untuk membuat bonsai yang baik. Tetapi, bukan lantas berarti sebaliknya, bahwa bonsai yang baik itu harus menuruti aturan tersebut.

Maka yang namanya gaya bonsai, dalam perkembangannya bukan lagi ada lima, bisa puluhan, bahkan mungkin ratusan gaya bonsai. Mempersoalkan gaya konvensional dengan non-konvensional menjadi tidak relevan lagi. Sebab, kalau betul bahwa gaya konvensional harus mengacu pada aturan tadi, maka jangan-jangan tidak ada bonsai yang konvensional.

Terkait dengan gaya cascade, Wawang melontarkan pertanyaan; Apakah bonsai gaya cascade itu harus memiliki kepala? Pada mulanya, diskusi berkembang dengan satu persepsi, bahwa yang dimaksud “kepala” adalah kanopi yang ada di atas. Karena itu pertanyaan Wawang tadi dipahami sebagai, “bonsai cascade yang memiliki kanopi di atas”. Meskipun, yang dimaksud “kepala” dalam bonsai cascade justru berada menjuntai di bawah.

Jika pertanyaannya adalah “haruskah” maka jawabannya adalah “tidak harus”. Karena memang tidak ada keharusan apapun untuk menjadikan kepala agar bonsai menjadi indah. Kepala atau kanopi di atas itu bisa ada bisa tidak, tergantung apakah keberadaannya menunjang keindahan bonsai cascade tersebut.

Dalam prakteknya, bonsai cascade yang memiliki kepala di atas (berarti punya dua kepala) harus dirawat sedemikian rupa agar pertumbuhannya justru mengalahkan batang yang menjuntai ke bawah. Sebab, menurut kodratnya pohon memang tumbuh ke atas. Sehingga, dengan adanya kepala di atas pada bonsai cascade itu tadi maka lama kelamaan gaya cascade itu bakal kalah. Jadi, harus ada pengekangan pertumbuhan kepala yang di atas tersebut.

Disamping itu, pertumbuhan cabang dan kepala yang mengarah ke atas bukan tidak mungkin malah akan mengalahkan fokus pada batang yang menjuntai, yang justru menjadi ciri khas dan kekuatan bonsai cascade itu. Lantas, apakah batang yang tumbuh ke atas itu harus dibuang? Belum tentu juga. Dengan kata lain, dibutuhkan “keberanian” untuk tetap mempertahankan batang ke atas selama kesan cascade masih tetap menjadi kekuatan tersendiri.

Bonsai milik dari Tejo Suyoko Bondowoso adalah salah satu contoh keberanian tersebut. Meskipun, bisa jadi bonsai yang menang di ASPAX IX ini tidak tergolong cascade murni, sebab pertumbuhan batang atasnya lebih dominan. ­– henri nc

(Majalah GREEN Hobby – No 12/2008)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar